Rabu, 13 Januari 2016

KEBUN SEKOLAH DAN HALAMAN SMP BINAUL HUSNA CARENANG

MASA-MASA SMP BINAUL HUSNA CARENANG PADA TAHUN BERDIRI 2010, GEDUNG MASIH BELUM MEMUNGKINKAN, Samapi-sampai pada saat Mengajukan Izin oprasional, di katain sekolah kandang bebek,  dengan uang seadanya kami lakukan perbaikan - perbaikan hingga nampak seperti ini.



















Seiring berjalanya waktu batuan-bantuan dari pusat di terima berupa bantuan gedung perpus, pada tahun 2013.

Penataan dan perapihan gedung dan sarana prasarana di Yayasan Binaul Husna Terus di lakukan untuk mewujudkan sekolah yang nyaman indah enak di pandang bagi wrga sekolah, 

















Sabtu, 29 Agustus 2015

Kata Terakhir Sang Guru

                                                                   Kata Terakhir Sang Guru
MASA MASA INDA DI YABINA

Hari ini purna sudah tugasmu
Menanti saat terakhir Aku sebagai muridmu
Tertunduk tenggelam dalam kenangan
Wahai Pahlawan pendidikan

Engkau yang seringkali kami takuti
Engkau yang kadang melucu
Pun Engkau yang kadang menasihati
Adalah Engkau Guru - guru kami

Sajak tentangmu takan pernah surut
Kata yang mengalir tak mampu mengurai
Tak seterang lilin yang kan terbakar
Kau tetap terang hingga perpisahan

Maafkan kami 
Atas kebodohan nafsu kami
Atas nasihat yang kami langgar
Atas perintah yang tak kami lakukan
Maafkan kami atas kebisingan saat kau mengajar
Maafkan kami atas kemalasan saat kami mengejar impian
Tiada kata dalam lembar terakhir kami 
selain
TERIMA KASIH GURU.


Jumat, 13 Februari 2015

BERITA BANJIR

 Carenang, 9 Februari 2015
SMP Bina'ul Husna Carenang Kembali Terendam banjir setelah di guyur hujan Sehari penuh, yang mengakibatkan sekuruh halaman sekolah terendam banjir, dan mengganggu aktifitas belajar sehingga kegiatan KBM pun di liburkan selama dua hari, samapai menunggu surut,. banjir terjadi karena kirim air dari beberapa daerah di kawasan carenang, dan juga SMP Bina'ul Husna yang letaknya di dataran rendah dan dekat dengan aliran sungai,. debit air yang cukup tinggi sehingga sungai tidak mampuh menampung air dan meluap ke area SMP Bina'ul Husna, namun hal ini sangat memprihatinkan karna takut sungai yang berada di samping Sekolah kembali meluap yang mengakibatkan banjir yang cukup parah, seperti yang telah di alami pada tahun sebelumnuya. karana di samping dari air hujan. SMP Bina'ul Husna Terletang dekat dengan Sungai Ciujung di mana sungai ini sungai yang cukup beser sehingga jika kiriman air datang, bisa mengakibatkan meluap ke sekitar sungai dan mengakibatkan jebolnya tanggunl sungai ciujung yang mengakibatkan air mengalir ke pemukiman warga sekitar sungai ciujung dan ter masuk SMP Bina'ul Husna Sendiri, Warga berharap dari pemerintah bisa memperbaiki tanggul di sekitar sungai ciujung yang cukup memprihatinkan ketika kiriman air datang, karna kondisi tanggul yang hancur akibat jebol pada 2 tahun lalu, kondisinya sampai sekarang masih belum rapi, jika banjir datang kemukinan beser akan jebol kembali, harapan warga agar seluruh tanggul di lapisi dengan batu keranjang agar tahan dalam menampung air dan tidak terjadi abarasi atau jebolnya tanggul.Ujar Warga Sungai Ciujung.Carenang Serang Banten




C

Sabtu, 17 Januari 2015


Asalamualikum Wr Wb.
Kawan Bloggers smuanya, mudah-mudahan semua dalam keadaan sehat, Alhamdullah di umur kurang lebih 4 th Yayasan Bina'ul Husna                 terus menampilkan yang terbaik, guna mencerdaskan generasi bangsa, yang mampu bersaing dalam pesatnya kemajuan jaman. kami selaku pengurus, mohon dukungan masukan baik berupa pikiran maupun secara materil, guna tercapainya maksud dan Tujuan lembaga ini,.

Jumat, 02 Januari 2015

CERPEN

Pudarnya Pesona Cleopatra...
Habiburrahman El Shirazy

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah ukenal."Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan 
untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon 
keikhlasanmu", ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku 
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi 
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan 
diriku. 
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun 
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa 
berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) 
sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby 
face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. 
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi 
bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, 
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan 
Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung 
melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di 
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.


Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. 
Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa 
tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan 
shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya 
harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku 
yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya 
sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. 
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan 
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. 
Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih 
banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah 
sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku 
sia-sia.


Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, 
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab 
"tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga "Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', "kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

"wallahu a'lam" jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang 
kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.


Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis 
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas 
kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji 
dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap" kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk."Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan 
Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang 
dilakukan ibu. "Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati 
pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sa
mbil menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak 
tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas". "Biasanya dikerokin" 
jawabku lirih. "Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" 
sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana 
membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur.

Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur 
sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin 
menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan 
Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku 
untuk makan malam di istananya. "Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. "Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu".

Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 
07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba "Mas, bangun, sudah 
jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana membangunkanku. 
Aku terbangun dengan perasaan kecewa. "Maafkan aku Mas, membuat Mas 
kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas 
mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka 
sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia 
bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya. 
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar 
terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

"Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan 
datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, 
tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang." Suara 
lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. 
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.

"Maaf, maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana, "lirihnya, lalu 
perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. "Mbak! Eh maaf, 
maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. "Ya Mas!" sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda". "Matanya sedikit berbinar."Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, Insya Allah." ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum 
bersinar dibibirnya. "Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan 
bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku 
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang 
kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan 
Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana 
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga."Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. 


Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan 
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku 
adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang 
sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi 
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik 
meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki 
Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali 
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia 
mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir 
tentang keturunan. "Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. 
"Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. 
Bukankah begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku 
tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. 
Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, 
aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku 
sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. 
Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak 
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. 
Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak 
kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya "Mana tanggung jawabmu!"Aku hanya diam dan mendesah sedih. "Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan 
ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan 
alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, "Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".


Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari 
Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa 
sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan 
segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat 
kuliah di Mesir. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana.

Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas.
Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan 
perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah 
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk 
angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan 
menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. 
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor 
bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang 
mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang 
dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia 
menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur 
dijalani. 
"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah" jawabku. "Dengan orang mana?". "Orang Jawa".
"Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak 
saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". 
"Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran".
"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku". "Kenapa dengan Bapak?"

"Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan 
orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang".
"Bagaimana itu bisa terjadi?".

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona 
dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya 
seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir 
dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, 
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya 
lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari 
Indonesia.


Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah 
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya 
yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya 
jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya 
bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.

Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai 
S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual 
untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap 
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak 
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya 
mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan.

Jika saya pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka.
Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah 
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka 
berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis 
saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu 
di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. "Aku menyesal menikah 
dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa 
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata Yasmin yang bagaikan geledek 
menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu 
dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya 
sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi.

Dua bulan yang lalu  saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang". 
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan 
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal.

Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, 
darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku "serong"?. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.


"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal 
hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba" tulis Raihana. Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa "Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk 
tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa 
hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang 
luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana 
terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan 
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. 
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. "Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi. "Raihana  istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya".
"Ada apa dengan dia". "Dia telah tiada". "Ibu berkata apa!". "Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar 
mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. 
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya". 
Hatiku bergetar hebat. "Ke… kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". 
"Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang 
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin 
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami".

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku 
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, 
dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. 
Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk 
sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. 
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru 
dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, 
haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup 
kembali.
Tiba-tiba dunia gelap gulita.


Cerita ini diperuntukkan
Bagi orang-orang yang hanya menilai wanita

dari kecantikan luarnya saja.

CERPEN

Pudarnya Pesona Cleopatra...
Habiburrahman El Shirazy

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah ukenal."Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan 
untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon 
keikhlasanmu", ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku 
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi 
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan 
diriku. 
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun 
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa 
berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) 
sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby 
face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. 
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi 
bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, 
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan 
Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung 
melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di 
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.


Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. 
Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa 
tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan 
shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya 
harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku 
yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya 
sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. 
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan 
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. 
Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih 
banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah 
sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku 
sia-sia.


Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, 
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab 
"tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga "Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', "kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

"wallahu a'lam" jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang 
kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.


Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis 
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas 
kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji 
dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap" kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk."Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan 
Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang 
dilakukan ibu. "Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati 
pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sa
mbil menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak 
tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas". "Biasanya dikerokin" 
jawabku lirih. "Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" 
sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana 
membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur.

Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur 
sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin 
menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan 
Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku 
untuk makan malam di istananya. "Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. "Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu".

Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 
07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba "Mas, bangun, sudah 
jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana membangunkanku. 
Aku terbangun dengan perasaan kecewa. "Maafkan aku Mas, membuat Mas 
kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas 
mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka 
sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia 
bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya. 
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar 
terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

"Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan 
datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, 
tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang." Suara 
lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. 
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.

"Maaf, maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana, "lirihnya, lalu 
perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. "Mbak! Eh maaf, 
maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. "Ya Mas!" sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda". "Matanya sedikit berbinar."Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, Insya Allah." ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum 
bersinar dibibirnya. "Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan 
bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku 
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang 
kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan 
Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana 
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga."Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. 


Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan 
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku 
adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang 
sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi 
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik 
meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki 
Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali 
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia 
mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir 
tentang keturunan. "Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. 
"Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. 
Bukankah begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku 
tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. 
Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, 
aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku 
sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. 
Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak 
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. 
Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak 
kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya "Mana tanggung jawabmu!"Aku hanya diam dan mendesah sedih. "Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan 
ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan 
alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, "Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".


Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari 
Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa 
sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan 
segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat 
kuliah di Mesir. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana.

Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas.
Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan 
perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah 
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk 
angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan 
menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. 
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor 
bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang 
mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang 
dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia 
menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur 
dijalani. 
"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah" jawabku. "Dengan orang mana?". "Orang Jawa".
"Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak 
saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". 
"Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran".
"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku". "Kenapa dengan Bapak?"

"Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan 
orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang".
"Bagaimana itu bisa terjadi?".

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona 
dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya 
seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir 
dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, 
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya 
lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari 
Indonesia.


Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah 
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya 
yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya 
jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya 
bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.

Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai 
S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual 
untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap 
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak 
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya 
mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan.

Jika saya pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka.
Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah 
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka 
berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis 
saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu 
di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. "Aku menyesal menikah 
dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa 
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata Yasmin yang bagaikan geledek 
menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu 
dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya 
sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi.

Dua bulan yang lalu  saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang". 
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan 
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal.

Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, 
darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku "serong"?. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.


"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal 
hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba" tulis Raihana. Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa "Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk 
tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa 
hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang 
luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana 
terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan 
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. 
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. "Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi. "Raihana  istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya".
"Ada apa dengan dia". "Dia telah tiada". "Ibu berkata apa!". "Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar 
mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. 
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya". 
Hatiku bergetar hebat. "Ke… kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". 
"Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang 
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin 
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami".

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku 
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, 
dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. 
Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk 
sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. 
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru 
dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, 
haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup 
kembali.
Tiba-tiba dunia gelap gulita.


Cerita ini diperuntukkan
Bagi orang-orang yang hanya menilai wanita

dari kecantikan luarnya saja.